Skip to main content

KATA - KATA INDAH FIERSA BESARI DALAM FIKSI GARIS WAKTU

"Lantas, apakah satu kata Maha Indah yang boleh mengawali semuanya? Bagiku selalu "Ibu"."
"Kakimu bisa kau taruh di tempat tertinggi, tapi apakah hatimu bisa kau taruh di tempat terendah?"
"Beberapa orang tinggal dalam hidupmu agar kau menghargai kenangan. Beberapa orang tinggal dalam kenangan agar kau menghargai hidupmu."
"Coba kau ingat perjuangan kita mencari dermaga yang semestinya melabuhkan kapal kita. Waktu itu kau dan aku kuat menghadang ombak dan badai. Saat ini, kau memilih untuk mendayung ke arah yang berbeda, dan aku memilih untuk mengisi perjalanan kita dengan diam."
"Pada akhirnya, jemari akan menemukan genggaman yang tepat, kepala akan menemukan bahu yang tepat, hati akan menemukan rumah yang tepat."
"Terima kasih karena telah membuatku tersenyum lebih lebar lagi ketika angin laut menerpa wajahku; membuat jantungku berdebar lebih keras lagi ketika langkahku menyusuri gunung; membuat rinduku pada kotamu lebih kuat lagi ketika aku tahu kau adalah rumah untukku."
 "Kubayangkan kita tinggal di rumah kayu sisi pantai, dengan aroma laut memenuhi udara. Hidup kita sederhana, tanpa perlu disibukkan urusan dunia maya; tanpa harus terbawa arus modernisasi."
 "Aku bisa menjadi nelayan dan kau bisa menjadi guru (jika kau mau). Di penghujung hari, kita terduduk bersama di dermaga dengan senyum di wajah kita; hingga tua, hingga salah satu dari kita dipanggil oleh-Nya. Tampaknya, berkomitmen itu bagus juga."
"Di Sisi kiriku ada rumah kayu dengan aroma laut memenuhi udara. Ini adalah tempat aku dan engkau seharusnya menghabiskan masa tua, tertawa sambil duduk di bawah pohon besar itu, dengan senja menyapu dari ujung cakrawala, dilengkapi oleh awan merah jambu laksana gula-gula kapas."
"Aku marah bukan berarti tak peduli, aku diam bukan berarti tak memperhatikan, aku hilang bukan berarti tak ingin dicari." 
 "Kemarau kini sudah berubah menjadi musim penghujan. Pada suatu sore, tatkala awan kelabu sedang luruh bergemuruh, datanglah sepucuk surat berhias pita emas; terselip di pintu rumahku. Ada namamu dan namanya, bersiap mengikat janji untuk selamanya. Sementara aku, mantan kekasihmu, harus berbesar hati melihatnya memboyongmu sebagai hadiah termanis."
"Pesan-pesan singkat berisi kata-kata manis untuknya, juga kemesraan kalian, sudah menjadi bukti yang cukup untuk menghancurkan apa yang kita pernah punya. Hatimu membelah diri."
"Kau mulai luluh sementara aku luluh lantak."
"Jemarimu mencengkeram kuat, mulutmu mencoba menjelaskan. Dan yang bisa kudengar hanyalah omong kosong."
"Pada tenangmu aku berlabuh, mengetahui sewaktu waktu ombakmu dapat mendentumku keras, namun aku tetap menambatkan jangkar. Pada jinggamu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu gelapmu dapat membutakanku, namun aku tetap menambatkan jangkar. Padamu aku berlabuh, mengetahui sewaktu-waktu kau tidak baik-baik saja, namun aku tetap menambatkan jangkar. Aku menambatkan jangkar bukan hanya untuk melihatmu sempurna. Aku menambatkan jangkar untuk melihatmu apa adanya." 
"Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya. Kemudian, satu orang tersebut akan menjadi bagian terbesar dalam agendamu. Dan hatimu takkan memberikan pilihan apa pun kecuali jatuh cinta, biarpun logika terus berkata bahwa risiko dari jatuh cinta adalah terjerembab di dasar nestapa."
"Kau selalu mampu membuatku jujur mengenai segala hal, kecuali satu; perasaanku. Andai saja aku mampu memberitahumu. Tapi, aku terlalu takut akan reaksimu yang tidak sesuai dengan imajinasiku selama ini. Bukankah fiksi lebih meninabobokkan dibandingkan kenyataan? Bukankah kita adalah dua orang yang terlanjur menikmati berkubang dalam zona pertemanan? Tubuh kita berlumur harapan palsu. Tanganku menggapai-gapai mencari jalan keluar, sementara tanganmu mencegahku ke mana-mana."
"Malam-malamku hanya berisi kumpulan tugas yang harus rela kubagi dengan jam tidur. Dan pagi-pagiku hanyalah repetisi membosankan untuk mengenyangkan logika. Aku lupa bahwa bintang pun bernyawa, hutan pun bernapas, dan kita diciptakan untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dari sekadar rutinitas harian. Aku lupa bahwa kita semua terkoneksi; bahwa cinta sepatutnya menjadi bahan bakar agar kita tetap melangkah. Garis besarnya, aku lupa caranya menjadi manusia."

Comments

Popular posts from this blog

Aku minta maaf, Istriku

Istriku.. Sudah berapa kali kubuat kau bersedih … Sudah berapa kali hatimu kulukai… Sudah berapa kali nasihatmu tak kuhiraukan… Sudah berapa kali teguranmu kutolak.. Sudah berapa kali tingkahku memberi luka… Sudah seringkali aku berlaku kasar padamu… Maafkan aku wahai istriku… Atas segala salah dan khilafku lahir dan batin, yang tampak maupun yang tersembunyi, atas ucapan dan janji yang tak terpenuhi… Maafkan wahai istriku… Jika yang ada pada diriku membuatmu kecewa… Jika yang kuperbuat sangat menyakiti hatimu… Aku hanyalah seorang lelaki biasa… Seorang suami yang lemah… Seorang suami yang banyak salah… Tapi… Aku sayang padamu wahai istriku… Engkau harta yang tak ternilai bagiku… Wahai istriku… Seandainya dirimu merasa pernah berbuat salah padaku, apapun itu, aku sudah ridho memaafkan semuanya, lahir dan batin… Wahai istriku… Aku kini menyadari bahwa hatimu begitu mulia… Mudah-mudahan ini kesadaran yang belum terlambat, hanya karena kebodo...

Wanita yang dulu bukan siapa-siapa, kini tanpanya aku bukan apa-apa

Menikahimu, hidup bersamamu, serumah bersamamu, makan, makanan masakanmu, jadi ibu dari anak-anakku, Teman cerita dalam penatku, jadi perawat di saat sakitku, penyemangat dikala lelahku, "Wanita yang dulu bukan siapa-siapa, kini tanpanya aku bukan apa-apa,".

TUNGGU AKU PULANG

Hai kamu, ia kamu yang telah lama terlanjur jauh, Tunggu, aku pulang.